Melangkah Dengan Pasti

Malam telah berlalu, pagi pun menjelang. Kurasakan dingin nya pagi ini. Ketika kilau sinar mentari pagi perlahan turun menyinari bumi, kudengar burung-burung berkicau dan bernyanyi menyambut indahnya hamparan pagi. Daun-daun dan pepohonan menari bersama hembusan angin. Aku mengucap syukur kepada Tuhan atas indahnya pagi ini.

Pagi ini, adalah hari terakhir ku bersama keluarga. Hari ini aku akan memulai kehidupan ku di dalam sebuah asrama, seminari lebih tepatnya. Tempat itu adalah tempat yang aku inginkan sejak kecil. Cita-cita ku yang ingin mengabdi kepada Tuhan dan menjadi pelayan bagi umat-Nya. Di tempat itu pula salah satu jalan ku menuju ke kehidupan abadi.

“Bagaimana perasaan mu, le?” tanya simbah yang telah merawatku sedari aku kecil.

“Ya begitulah mbah, antara senang dan sedih. Senang karena cita-cita ku selama ini akan tercapai, tetapi disisi lain aku akan menjadi sedih karena berpisah dengan orang-orang yang aku cintai dan yang selalu ada untuk ku,” jawabku sambil menahan tangis.

 “Sebenarnya mbah juga akan merasa sendiri, apabila nanti kamu telah berada di sana. Tetapi mbah harus memahami, bahwa ini adalah panggilan hidup. Panggilan yang diberikan Tuhan untuk mu. Jalani panggilan ini, agar Tuhan bisa memakai hidup mu untuk kemuliaan nama-Nya.”

            Satu demi satu rumah warga sekitar aku kunjungi demi memohon doa dan restu dalam langkah ku kedepannya. Memang banyak warga sekitar rumah ku yang beragama sama dengan ku, tetapi tidak semua mendukung keputusan ku menjadi seorang imam. Simbah selalu menjadi alasan utama kenapa mereka memiliki keberatan apabila aku menjadi seorang imam.

Tetapi ada satu orang yang amat sangat keberatan jika aku menjadi seorang imam. Adalah Devi, wanita seumuran ku yang menjadi kembang desa di kampungku. Banyak hal yang membuat dia amat sangat keberatan jika aku menjadi seorang imam. Tetapi satu yang aku tau, Devi adalah orang yang memiliki perasaan lebih kepada ku. Setelah banyak momen telah kita lewati bersama semasa remaja, aku mengambil keputusan menjadi seorang imam. Aku tau Devi akan shock. Tetapi bagaimanapun, ini adalah panggilan hidup ku, aku harus bisa menjalani panggilan ini.

            Saat aku mengunjungi rumahnya, orang tua Devi menyambutku dan telah menyiapkan hadiah spesial untuk ku sebagai kenang-kenangan atas keluarga Devi. Lalu mereka mempersilahkan ku duduk, ayah Devi mengobrol dengan ku, sedangkan ibu nya mempersiapkan hidangan untuk ku.

            “Semangat ya nak. Kamu adalah orang pilihan-Nya. Jalani panggilan itu dengan penuh khidmat dan ketekunan,” ayah Devi memberi ku semangat.

Tak lama itu ibunya datang membawakan teh yang disajikan dalam sebuah teko. Ibu Devi berpesan agar aku taat dan setia menjalani panggilan hidup. Hingga kami saling bercakap, mulai membahas hal semasa dulu, semasa kanak-kanak sampai menjadi sekarang.

Tak terasa kami sudah berbicara hampir satu jam. Aku pun sadar, waktu keberangkatan ku ke seminari semakin dekat. Kudengar sayup-sayup suara isak tangis dari sebuah kamar di dekat ruang tamu itu. Aku dan orang tua Devi segera menghampiri kamar nya. Ayah Devi berusaha membuka pintu cokelat itu, tetapi tidak berhasil dan terkunci dari dalam. Setelah itu aku membujuk Devi supaya keluar, dan berhasil, Devi keluar dengan keadaan menangis.

“Kenapa kamu menangis Devi?” tanyaku sambil memeluk dia.

“Seharusnya kamu tau, kalau aku gak bisa jauh dengan mu. Selama ini kita selalu bersama, baik dalam kegiatan di sekolah, di gereja, dan kegiatan di kampung ini,” jawab Devi dengan terisak.

“Aku tau, selama ini kita selalu bersama, dalam suka dan duka. Tetapi, kebersamaan kita ini harus berakhir karena panggilan hidup ku. Jujur Dev, aku sudah inginkan hal ini sejak kecil, tapi aku baru memantapkan hal ini saat remaja. Maaf aku baru memberitahu mu beberapa waktu lalu, padahal aku sudah mendaftar disana sejak jauh-jauh hari.”

Beberapa saat aku memeluk nya, lalu aku mengucapkan suatu hal sambil melepas pelukan itu. “Tuhan  sayang aku, Tuhan memakai aku untuk kemuliaan nama-Nya”

Mendengar perkataan itu, tangisan Devi semakin menjadi. Aku pun semakin bingung dan panik, bagaimana cara menenangkan Devi. Berulang kali orang tua nya menasehati Devi, tetapi gagal. Lalu aku mengucapkan suatu hal yang akhirnya membuat Devi berhenti menangis sejenak. “Ingatlah Dev, Tuhan selalu memiliki cara terhadap yang mencintai seseorang. Harus kamu yakini, suatu saat kita akan bertemu, entah sebagai imam dan umat, atau saat kamu telah menemukan pasangan hidup dan aku sebagai peneguh atas pernikahan mu dengan pasangan mu, atau bahkan saat kamu menjadi biarawati, lalu kita bertemu dalam suatu acara keuskupan, kita tidak tau. Yang jelas, cara-cara Tuhan itu unik.”

Devi akhirnya mulai memahami penjelasan ku tadi. Devi sekeluarga mengantar ku kembali ke rumah. Kulihat sebuah mobil Avanza hitam telah menjemputku. Aku pun masuk ke dalam rumah, mengambil semua barang yang telah aku siapkan dan barang yang kuperlukan. Saat berada di dalam rumah, kulihat orang tua Devi sedang berbicara dengan simbah dan kulihat pula Devi sedikit terisak, berdiri sambil sedikit bersandar di pintu mobil. Kudengar sedikit pembicaraan mereka, yang intinya orangtua Devi memberikan dukungan untuk ku menjadi seorang imam.

Kubuka pintu bagasi mobil, kumasukkan koper, tas, dan barang-barang lain. Orangtua Devi dan simbah tersadar akan hal ini. Lalu simbah menanyakan, “Sudah gak ada yang ketinggalan ya le?”.

“Sudah tidak ada mbah” jawabku singkat.

Ibu Devi pun menyahut juga “Ada, yaitu kenang-kenangan dari kami. Simpan barang ini untuk mengingat kami sekeluarga.” Aku tersenyum kecil, mengucapkan terimakasih saat kuterima kenang-kenangan itu kuterima.

07.30

Aku pun bersiap masuk ke mobil, tetapi sebelum itu, aku berpamitan sekali lagi kepada orang tua Devi. Sebagai mana seharusnya yang wajib aku lakukan terhadap orang yang lebih tua, kucium tangan mereka sambil memohon doa restu agar aku bisa menjalani panggilan ini dengan lancar. Lalu aku berpamitan ke Devi, memohon hal yang sama. Tanpa sadar air mata ku dan Devi mengalir bersamaan. Kupeluk Devi dengan erat. Devi masih keberatan dengan kepergianku. Mau tak mau, kulepas Devi. Aku masuk ke mobil bersama simbah dan kulihat Devi sudah merelakan aku. Aku pun semakin mantap melangkah ke seminari. Dari peristiwa ini aku ambil makna, bahwa dalam menajalani panggilan Tuhan, aku harus melangkah dengan pasti, melangkah ke kehidupan ku yang baru. Panggilan Tuhan harus senantiasa melekat di hati ku sepanjang masa.

Komentar